Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 04 September 2011

Mengenal Leluhur (edisi spesial Lebaran)

Idul Fitri tahun ini saya merayakannya dengan mudik ke kampung yangti (eyang putri) di Desa Ngawonggo, Klaten. Rumah tempat yangti dibesarkan sebelum pindah ke Jakarta  ini merupakan bangunan tua berusia ratusan tahun dengan halaman yang sangat luas. 6 mobil berada di pekarangan masih menyisakan area yang cukup luas untuk anak-anak bermain. Rumah ini merupakan warisan dari leluhur yangti yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Rumah ini percaya ga percaya ada penunggunya. Setiap ada tukang yang merombak sedikit saja bagian, tidak lama kemudian akan jatuh sakit. Bahkan orang yang hanya mendesain perombakan rumah pun ikut sakit juga, sehingga rumah ini tetap pada kondisi seperti baru berdiri ratusan tahun yang lampau. Rumah ini awalnya didiami oleh yangkung-nya yangti yang kemudian mewariskannya ke anak satu-satunya, yang tak lain adalah bapaknya yangti. Selanjutnya rumah ini dibagi 2 untuk yangti dan adiknya..

Selain bersilaturahmi, arisan, dan saling bermaafan, pada Idul Fitri kali ini keluarga kami pun merencanakan untuk ziarah ke makam para leluhur. Diawali dengan ziarah ke makam  yangyut (orang tua yangti) yang dikuburkan di taman pemakaman belakang rumah, kemudian dilanjutkan ke Gedhong Emas, pemakaman leluhur sebelumnya. Kunjungan ziarah ini dimaksudkan agar cucu-cicit-canggah seperti saya bisa menjawab pertanyaan seputar asal-usul "kulo niki turunane sopo?".

Gedhong Emas merupakan bangunan seperti RSSS (rumah sangat sederhana sekaliiiii) yang di dalamnya terdapat makam-makam. Sebelum kami masuk ke Gedhong Emas, kuncen membersihkan dulu area pemakaman. Katanya, beberapa malam sebelumnya ada orang dari Magelang datang ke Gedhong Emas untuk semedi selama 3 hari. Apa tujuannya, saya ga tau. Tapi saya rasa sih cari wangsit entah biar kaya, pinter, atau pengen ganteng. Dan memang sering ada orang yang semedi buat cari wangsit di sini.

Masuk ke Gedhong Emas, bau menyan menyeruak menusuk hidung, dan masih saya temukan dupa yang baru dinyalakan semalam, lilin, dan kopi. Di sebuah sisi ditemukan makam Pangeran Djungut Mandurorejo,  yang merupakan keturunan ke-11 Sunan Kalijaga. Di sampingnya terdapat makam istri sang pangeran, yaitu Gusti Raden Djungut Mandurorejo, yang merupakan puteri kandung Paku Buwono II. Dikisahkan oleh yangti,  dulu ketika muda Eyang Djungut (Pangeran Djungut Mandurorejo) sebelumnya adalah seorang kyai yang suka mengaji di mesjid dekat istana PB II. PB II tertarik dengan suara merdu Eyang Djungut yang sedang mengaji. Kemudian PB II memanggil Eyang Djungut dan menikahkannya dengan salah satu putrinya. Ia kemudian diberi gelar Pangeran dan disebut dengan Pangeran Djungut Mandurorejo.

Di sisi lain, terdapat makam bertuliskan nama Bre Pangeran Haryo Djungut Mandurorejo (yangti menyebutnya dengan Eyang Ryo). Eyang Ryo merupakan anak dari Eyang Djungut. Di sebelah makam Eyang Ryo terdapat makam anaknya, yaitu Tumenggung Wareng Sono Warso Kusumo. Menurut sejarah, Tumenggung pada zaman itu posisinya sama dengan Bupati saat ini. Di tengah-tengah Gedhong Emas terdapat makam yang modelnya berbeda dengan makam-makam lainnya, dan di makam ini tidak ada identitas orang yang dikuburkan. Yangti menceritakan bahwa itu adalah makam Mbah Ajeng, istri dari Tumenggung Wareng Sono Warso Kusumo. Mbah Ajeng dipercaya sebagai anggota keluarga terakhir yang menempati Istana Djungutan, atau areal pemukiman keluarga turunan Eyang Djungut.

Dikisahkan menurut adat-istiadat setempat zaman dahulu, seorang istri dilarang tidur sebelum suami, dan dilarang bangun meninggalkan kamar sebelum suami. Suatu hari Mbah Ajeng melanggar adat-istiadat tersebut dengan meninggalkan kamar sebelum suaminya karena ada sesuatu (entah kebelet pipis atau gimana, dan entah pergi kemana saat itu). Seketika Tumenggung Wareng Sono Warso Kusumo mengusir istrinya untuk tidak lagi tinggal dan memasuki areal Istana Djungutan. Ketika Mbah Ajeng balik dari entah mana itu, tiba-tiba Istana Djungutan terbakar habis. Tidak diketahui lagi cerita selanjutnya dan detailnya bagaimana. Yang jelas untuk selanjutnya, keturunan Eyang Djungut tinggal terpencar berbaur dengan warga lain.

Selesai dari dalam area Gedhong Emas, kami melanjutkan ziarah ke makam di luar Gedhong Emas. Kami mendatangi makam Warso Soemarto, anak dari Tumenggung Wareng Sono Warso Kusumo dan Mbah Ajeng. Warso Soemarto ini merupakan eyang kakung (kakek) -nya yangti.
Jadi, kalau dirunut dari silsilahnya, saya si Putri Rasamala ini masih ada keturunan Wali Songo sama Keraton (jangan tanya keturunan ke berapa, aku malaaaaass menghitung).  Sayangnya, si Putri Rasamala ini sangat jauh dari bayangan putri keraton.



Si Putri Rasamala keturunan Keraton bersama pasangannya.
Weits, jangan salah! Yang di sampingnya itu juga Pangeran loh.
Keturunan dari Si Pitung. Ngak ngawawawaw :D

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. mbak santika, saya juga dari Ngawonggo. dukuh sentono. Saya ingin menggali lebih dalam tentang pangeran Djungut Manduroredjo. bisakah saya mendapat no Hp / email mbak untuk menanyakan sejarah detail beliau. HP/ WA saya 08122654352 Usman Wijanarko. Terima kasih

    BalasHapus
  3. Saya juga ingin kenal lebih jauh sejarahnya,kata orang tua saya masih jalur mba sono warso. Saya sigit 085643485866

    BalasHapus
  4. Assalamu.alaikum ini eyang buyut saya kata nya leluhur nya jg dr ngawonggo .eyang almarhum bernama R.Prawiro Suharjo ayah nya R.Sukro kakek nya R.Kasan Amat(mbh Demang beku bowan Delanggu)R.Prawiro Suharjo istri pertama RA.Sujiah(wafat punya anak 2 d antara nya R.Hadi Mulyono romo ibu saya Rr.Srikartini)apa yg bisa bantu hubungan saudara dr ngawonggo yg keluarga Dalang tlg bs WA 081279216 mks byk

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.